Rabu, 28 Mei 2014

Kebijakan Pemerintah Daerah yang Bermasalah dan Kontroversial


2.1

·       Perda “Siluman” Resahkan UMKM

Kalangan pelaku usaha di Kabupaten Deli Serdang mengungkapkan keresahannya atas hadirnya Peraturan Daerah (Perda) “siluman” yang memberlakukan Retribusi Izin Peruntukan, padahal Perda dimaksud sudah pernah dibatalkan Mendagri.
Ketua Forum Daerah Usaha Kecil dan Menengah (Forda UKM) Sumatera Utara, Lie Ho Pheng, didampingi Sekretaris Fachriz Tanjung, mengatakan di Medan baru-baru ini, meski Perda izin peruntukan sudah dibatalkan Mendagri pada tahun 2007, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Pemkab Deliserdang menjalankan kembali Perda tersebut dengan “menyaru” atas nama Perda yang lain.
“Bukan main, pungutan retribusi atas izin peruntukan ini bisa mencapai Rp.20-30 juta per izin. Sepertinya ini akan menjadi lahan pungli baru,” ujarnya.
Informasi diperoleh Forda UKM Sumatera Utara, sejak dibatalkannnya Perda Deliserdang No.25/1998 tentang Retribusi Izin Peruntukan Penggunaan Tanah melalui Kep-Mendagri No. 2/2007, Pemkab Deliserdang kembali mengeluarkan Perda No.6/2011 tentang Perizinan Tertentu dan Perda No.8/2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu.
“Ini yang membuat pelaku UKM bingung. Kenapa kemudian Pemkab kembali mengeluarkan peraturan yang mengatur retribusi izin peruntukan, sementara pemerintah pusat sudah membatalkannya. Di sisi lain, di Perda No. 8/2011 sendiri tidak ada rincian hitungan biaya izin peruntukan. Dan ini yang menurut kami dijadikan pintu masuk bagi oknum-oknum tertentu untuk mengutip biaya tinggi,” kata Lie Ho Pheng, yang juga seorang pengusaha furniture ini.
Ho Pheng tidak merinci pengusaha yang menjadi korban retribusi liar tersebut dengan alasan keamanan. “Tapi setidaknya kami sudah menerima laporan langsung dari pengusaha yang mengeluhkan besarnya biaya izin peruntukan dimaksud,” tandasnya.
Seharusnya, tambah Sekretaris Forda UKM Sumut, M.Fachriz Tanjung, Pemkab Deliserdang transparan dalam persoalan retribusi sehingga tidak menjadi peluang bagi oknum di instansinya untuk memungut biaya di luar tarif resmi. Fachriz menyayangkan ketiadaan informasi terkait retribusi izin peruntukan, baik di situs resmi Pemkab Deliserdang maupun di Bappeda Deliserdang sendiri.
Fachriz kemudian memberi contoh bagaimana Pemkab Serdang Bedagai cukup transparan soal perizinan tertentu, termasuk soal hitungan retribusi izin peruntukan, baik di situs resminya maupun di Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal setempat.
“Kita tidak menolak adanya retribusi. Tapi kami menolak jika itu dijadikan sebagai ajang pemerasan kepada pengusaha,” kata Fachriz yang juga pengusaha kopi biji ini.
Fachriz Tanjung, menambahkan, semestinya pemerintah memberikan insentif dan kemudahan kepada pelaku UKM untuk mengembangkan usahanya. Apalagi di masa-masa sulit seperti sekarang ini, sebab para pengusaha telah berkontribusi besar menyediakan lapangan kerja dan itu berarti membantu pemerintah dalam mengurangi pengangguran.
“Kita sudah cukup lelah menghadapi persoalan-persoalan serupa. Mulai dari izin prinsip, kita sudah kena, pajak juga sudah kena, pungutan memalui Perda sudah kena, kemudian kena lagi persoalan retribusi izin tertentu seperti ini. Ini bukan cara yang pas dan logis untuk mendukung sektor UMKM,” kata pengusaha kopi ini.

·       Seniman Minta Penjelasan Lahirnya Perda 9/2013

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Para seniman yang tergabung dalam Forum Seniman Riau (FSR), Senin (17/2), kembali mendatangi Komisi B DPRD Riau untuk menindaklanjuti dan mempertanyakan bagaimana Perda Nomor 9/2013 bisa lahir.
Berbeda dari aksi demo sebelumnya, Kamis (13/2) yang membawa ratusan seniman dan pekerja seni, kemarin mereka (seniman, red), datang dengan jumlah yang lebih kecil. 
Koordinator Lapangan sekaligus Ketua FSR Zalfandri, sebelum masuk ke ruangan Komisi B menjelaskan kedatangan kemarin memang sengaja diset untuk tidak lagi datang beramai-ramai. 
‘’Walau tak ramai, kami datang membawa semangat yang sama seperti hari sebelumnya. Ini sengaja karena hari ini kami datang untuk kembali mempertanyakan keberadaan Perda Nomor 9/2013 kepada bapak-bapak yang ada di Komisi B,’’ jelas Zalfandri.   
Tak berapa lama menunggu di depan pintu masuk gedung, rombongan kemudian dipersilakan masuk ke ruangan komisi B yang langsung disambut oleh ketua Komisi B DPRD Riau, T Rusli Ahmad didampingi anggota Komisi B dari Partai Demokrat, Eddy A Mohd Yatim.
Dalam pertemuan itu, para seniman kembali mengutarakan keberatan atas diberlakukannya pemungutan biaya ASIT yang merupakan satu-satunya laman bermain untuk mengekspresikan karya mereka, seniman yang hadir juga menuntut untuk mengembalikan fungsi ASIT seperti tujuan awal didirikannya, yaitu sebagai gedung seni pertunjukan. 
Ketua Sanggar Selembayung Fedli Azis menyebutkan keberatan atas pungutan biaya di ASIT itu sangat beralasan, karena memang untuk berkarya saja, seniman sudah cukup diberatkan untuk memikirkan uang produksi. Apalagi jika ditambah dengan uang sewa gedung atau apalah namanya. 
‘’Jadi kami datang ke Komisi B, ini meminta penjelasan terkait dengan bagaimana proses munculnya Perda Nomor 9/2013 atau jangan-jangan ini Perda siluman,’’ kata Fedli.
Pekerja seni lainnya, Hary Sandra Hasan juga menyampaikan hal serupa, Perda tersebut dinilai tidak sah karena pemberlakuannya tidak mengikuti proses yang benar, tanpa ada sosialisai dengan pemangku kepentingan, tanpa mengajak seniman untuk berunding.   
Lebih ekstrim lagi, seniman musik Riau, Anut Ardiansyah meminta kepada Komisi B, kalau memang Perda itu tidak bisa atau tidak mau dicabut, kata Anut lebih baik visi dan misi Riau 2020 saja yang dicabut. 
‘’Kan jelas, salah satu visi dan misi Riau 2020 itu menjadikan Riau sebagai pusat kebudayaan dan kesenian Melayu di Asia Tenggara. Kalau tempat aktivitas berbudaya dan berkesenian saja dipersulit bagi seniman, budayawan, bagaimana mau mencapai visi dan misi tersebut. Jadi cabut saja visi dan misi Riau 2020 itu, selesai cerita,’’ kata Anut.
Ketua Komisi B, T Rusli Ahmad menyebut bukannya tidak tahu dengan keberadaan Perda itu, hanya saja belum membacanya secara detail. Apalagi katanya, banyak sekali Perda lain yang diurus di Komisi B ini. 
‘’Inilah yang akan kita tinjau secepatnya. Barangkali penempatan biayanya yang tak pas. Saya juga tak setuju, kalau mahasiswa dan seniman dipungut biaya untuk menggunakan gedung itu,’’ katanya.
Persoalan ini dinilai Rusli sangat penting karena terkait langsung dengan keberadaan seniman yang notabene adalah pelaku-pelaku budaya dan seni di negeri ini. 
‘’Oleh karena itu, ini harus secepatnya ditindaklanjuti dan kita apresiasi langsung. Jadi begini saja, Selasa (18/2) sekitar pukul 14.00 WIB kita eksekusi langsung di Anjung Seni Idrus Tintin. Saya akan langsung layangkan surat ke dinas terkait, Dispenda, Disparekraf agar turut hadir di tempat. Langsung kita selesaikan, jangan ditunda-tunda lagi,’’ kata Rusli sembari langsung memerintahkan stafnya untuk membuat dan melayangkan surat ke dinas terkait yang salah satu isinya tidak boleh diwakili.
Eddy A Mohd Yatim turut menyayangkan atas pungutan biaya untuk seniman dalam hal penggunaan gedung. 
Selaku mantan pelaku seni di Riau, Edi cukup paham bagaimana seniman yang hanya berbekalkan semangat terus berkarya dan berkreativitas di Riau ini, tanpa ada embel-embel lain selain berkarya. 
‘’Saya juga akan hadir, mendampingi Ketua Komisi B besok (hari ini) untuk sama-sama kita menyelesaikan persoalan yang terjadi,’’ tutupnya.