2.1
·
Perda “Siluman” Resahkan UMKM
Kalangan pelaku usaha di Kabupaten
Deli Serdang mengungkapkan keresahannya atas hadirnya Peraturan Daerah (Perda)
“siluman” yang memberlakukan Retribusi Izin Peruntukan, padahal Perda dimaksud
sudah pernah dibatalkan Mendagri.
Ketua Forum Daerah Usaha Kecil dan
Menengah (Forda UKM) Sumatera Utara, Lie Ho Pheng, didampingi Sekretaris
Fachriz Tanjung, mengatakan di Medan baru-baru ini, meski Perda izin peruntukan
sudah dibatalkan Mendagri pada tahun 2007, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda) Pemkab Deliserdang menjalankan kembali Perda tersebut dengan
“menyaru” atas nama Perda yang lain.
“Bukan main, pungutan retribusi atas
izin peruntukan ini bisa mencapai Rp.20-30 juta per izin. Sepertinya ini akan
menjadi lahan pungli baru,” ujarnya.
Informasi diperoleh Forda UKM
Sumatera Utara, sejak dibatalkannnya Perda Deliserdang No.25/1998 tentang
Retribusi Izin Peruntukan Penggunaan Tanah melalui Kep-Mendagri No. 2/2007,
Pemkab Deliserdang kembali mengeluarkan Perda No.6/2011 tentang Perizinan
Tertentu dan Perda No.8/2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu.
“Ini yang membuat pelaku UKM
bingung. Kenapa kemudian Pemkab kembali mengeluarkan peraturan yang mengatur
retribusi izin peruntukan, sementara pemerintah pusat sudah membatalkannya. Di
sisi lain, di Perda No. 8/2011 sendiri tidak ada rincian hitungan biaya izin
peruntukan. Dan ini yang menurut kami dijadikan pintu masuk bagi oknum-oknum
tertentu untuk mengutip biaya tinggi,” kata Lie Ho Pheng, yang juga seorang
pengusaha furniture ini.
Ho Pheng tidak merinci pengusaha
yang menjadi korban retribusi liar tersebut dengan alasan keamanan. “Tapi
setidaknya kami sudah menerima laporan langsung dari pengusaha yang mengeluhkan
besarnya biaya izin peruntukan dimaksud,” tandasnya.
Seharusnya, tambah Sekretaris
Forda UKM Sumut, M.Fachriz Tanjung, Pemkab Deliserdang transparan dalam
persoalan retribusi sehingga tidak menjadi peluang bagi oknum di instansinya
untuk memungut biaya di luar tarif resmi. Fachriz menyayangkan ketiadaan
informasi terkait retribusi izin peruntukan, baik di situs resmi Pemkab
Deliserdang maupun di Bappeda Deliserdang sendiri.
Fachriz kemudian memberi contoh
bagaimana Pemkab Serdang Bedagai cukup transparan soal perizinan tertentu,
termasuk soal hitungan retribusi izin peruntukan, baik di situs resminya maupun
di Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal setempat.
“Kita tidak menolak adanya
retribusi. Tapi kami menolak jika itu dijadikan sebagai ajang pemerasan kepada
pengusaha,” kata Fachriz yang juga pengusaha kopi biji ini.
Fachriz Tanjung, menambahkan,
semestinya pemerintah memberikan insentif dan kemudahan kepada pelaku UKM untuk
mengembangkan usahanya. Apalagi di masa-masa sulit seperti sekarang ini, sebab
para pengusaha telah berkontribusi besar menyediakan lapangan kerja dan itu
berarti membantu pemerintah dalam mengurangi pengangguran.
“Kita sudah cukup lelah menghadapi
persoalan-persoalan serupa. Mulai dari izin prinsip, kita sudah kena, pajak
juga sudah kena, pungutan memalui Perda sudah kena, kemudian kena lagi
persoalan retribusi izin tertentu seperti ini. Ini bukan cara yang pas dan
logis untuk mendukung sektor UMKM,” kata pengusaha kopi ini.
·
Seniman Minta Penjelasan Lahirnya Perda 9/2013
PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Para seniman yang tergabung dalam Forum
Seniman Riau (FSR), Senin (17/2), kembali mendatangi Komisi B DPRD Riau untuk
menindaklanjuti dan mempertanyakan bagaimana Perda Nomor 9/2013 bisa lahir.
Berbeda dari aksi demo sebelumnya, Kamis (13/2) yang membawa
ratusan seniman dan pekerja seni, kemarin mereka (seniman, red), datang dengan
jumlah yang lebih kecil.
Koordinator Lapangan sekaligus Ketua FSR Zalfandri, sebelum masuk
ke ruangan Komisi B menjelaskan kedatangan kemarin memang sengaja diset untuk
tidak lagi datang beramai-ramai.
‘’Walau tak ramai, kami datang membawa semangat yang sama seperti
hari sebelumnya. Ini sengaja karena hari ini kami datang untuk kembali
mempertanyakan keberadaan Perda Nomor 9/2013 kepada bapak-bapak yang ada di
Komisi B,’’ jelas Zalfandri.
Tak berapa lama menunggu di depan pintu masuk gedung, rombongan
kemudian dipersilakan masuk ke ruangan komisi B yang langsung disambut oleh
ketua Komisi B DPRD Riau, T Rusli Ahmad didampingi anggota Komisi B dari Partai
Demokrat, Eddy A Mohd Yatim.
Dalam pertemuan itu, para seniman kembali mengutarakan keberatan
atas diberlakukannya pemungutan biaya ASIT yang merupakan satu-satunya laman
bermain untuk mengekspresikan karya mereka, seniman yang hadir juga menuntut
untuk mengembalikan fungsi ASIT seperti tujuan awal didirikannya, yaitu sebagai
gedung seni pertunjukan.
Ketua Sanggar Selembayung Fedli Azis menyebutkan keberatan atas
pungutan biaya di ASIT itu sangat beralasan, karena memang untuk berkarya saja,
seniman sudah cukup diberatkan untuk memikirkan uang produksi. Apalagi jika
ditambah dengan uang sewa gedung atau apalah namanya.
‘’Jadi kami datang ke Komisi B, ini meminta penjelasan terkait
dengan bagaimana proses munculnya Perda Nomor 9/2013 atau jangan-jangan ini
Perda siluman,’’ kata Fedli.
Pekerja seni lainnya, Hary Sandra Hasan juga menyampaikan hal
serupa, Perda tersebut dinilai tidak sah karena pemberlakuannya tidak mengikuti
proses yang benar, tanpa ada sosialisai dengan pemangku kepentingan, tanpa
mengajak seniman untuk berunding.
Lebih ekstrim lagi, seniman musik Riau, Anut Ardiansyah meminta
kepada Komisi B, kalau memang Perda itu tidak bisa atau tidak mau dicabut, kata
Anut lebih baik visi dan misi Riau 2020 saja yang dicabut.
‘’Kan jelas, salah satu visi dan misi Riau 2020 itu menjadikan
Riau sebagai pusat kebudayaan dan kesenian Melayu di Asia Tenggara. Kalau
tempat aktivitas berbudaya dan berkesenian saja dipersulit bagi seniman,
budayawan, bagaimana mau mencapai visi dan misi tersebut. Jadi cabut saja visi
dan misi Riau 2020 itu, selesai cerita,’’ kata Anut.
Ketua Komisi B, T Rusli Ahmad menyebut bukannya tidak tahu dengan
keberadaan Perda itu, hanya saja belum membacanya secara detail. Apalagi
katanya, banyak sekali Perda lain yang diurus di Komisi B ini.
‘’Inilah yang akan kita tinjau secepatnya. Barangkali penempatan
biayanya yang tak pas. Saya juga tak setuju, kalau mahasiswa dan seniman
dipungut biaya untuk menggunakan gedung itu,’’ katanya.
Persoalan ini dinilai Rusli sangat penting karena terkait langsung
dengan keberadaan seniman yang notabene adalah pelaku-pelaku budaya dan seni di
negeri ini.
‘’Oleh karena itu, ini harus secepatnya ditindaklanjuti dan kita
apresiasi langsung. Jadi begini saja, Selasa (18/2) sekitar pukul 14.00 WIB
kita eksekusi langsung di Anjung Seni Idrus Tintin. Saya akan langsung
layangkan surat ke dinas terkait, Dispenda, Disparekraf agar turut hadir di
tempat. Langsung kita selesaikan, jangan ditunda-tunda lagi,’’ kata Rusli
sembari langsung memerintahkan stafnya untuk membuat dan melayangkan surat ke
dinas terkait yang salah satu isinya tidak boleh diwakili.
Eddy A Mohd Yatim turut menyayangkan atas pungutan biaya untuk
seniman dalam hal penggunaan gedung.
Selaku mantan pelaku seni di Riau, Edi cukup paham bagaimana
seniman yang hanya berbekalkan semangat terus berkarya dan berkreativitas di
Riau ini, tanpa ada embel-embel lain selain berkarya.
‘’Saya juga akan hadir, mendampingi Ketua Komisi B besok (hari
ini) untuk sama-sama kita menyelesaikan persoalan yang terjadi,’’ tutupnya.